Rabu, 07 Desember 2011

CERPEN

Karena...
Foto itu terus dipandanginya. Masih tersimpan rapi di dalam sebuah album yang cantik. Kenangan yang begitu berharga baginya, kenangan dirinya waktu masih ABG ketika SMP kelas VIII 5 tahun yang lalu.
Ada satu foto yang selalu membuatnya tersenyum, foto dirinya bersama seseorang yang pernah menarik perhatiannya. Dimas, seseorang yang hilang entah kemana dan sampai sekarang pun masih dirindukannya dan disimpan pemberiannya, walau hanya sebuah sapu tangan.

$ $ $

Ketika itu dirinya di masa SMP sedang menangis di perpustakaan karena membaca cerita yang begitu menyayat hati, kisah anak yang ditinggal orangtuanya karena kecelakaan.
“Gitu aja nangis, cengeng banget sih! Aku aja yang udah baca sampe 10 kali nggak pernah nangis tuh! Nih, buat bersihin ingus kamu”,  Dimas masa ABG menggodanya seraya memberikan sapu tangannya dengan tersenyum manis.
Tentu saja Eva yang begitu menghayati cerita yang dibacanya langsung menghapus air matanya dengan cepat. “Apa-apaan sih? Siapa lagi yang ingusan? Emang aku kalo nangis kayak kamu apa?”, ketus Eva masih dengan matanya yang merah karena menangis dan mendorong tangan Dimas yang menawarinya sapu tangan.
“Kayak pernah liat aku nangis aja! Udah deh, nggak usah ngelak! Daritadi juga srat-srot gitu kan??? Emangnya aku nggak denger apa?”, Dimas tertawa sambil menjulurkan lidahnya mengejek Eva.
“Ih…resek banget sih!! Udah sana pergi!”, Eva mendorong Dimas menyuruhnya menjauh.
Dimas menertawakan Eva. “Dasar cengeng! Tuh sapu tangannya di meja, gratis kok!”, Dimas berbalik berlalu menuju pintu keluar perpustakaan.
“Heh!! Siapa juga yang mau sapu tangan kamu? Dimas…!!!”, kali ini suara Eva terdengar keras, namun Dimas tak menghiraukannya.
“Sssssssstttttttt……..!!! Ribut amat sih, lagi konsen baca ni!”, ketus seorang siswi yang juga sedang membaca di sana.
“Oh iya..maaf!”, Eva kembali duduk dan memandangi sapu tangan biru yang diberikan Dimas, kemudian tersenyum. “Aku simpen aja deh!”, batinnya.
Semenjak itu, Eva dan Dimas menjadi akrab bahkan sangat dekat. Pulang sekolah lebih memilih naik bis berdua daripada dijemput. Dan itu membuat Eva menyimpan perasaan untuk Dimas. Entah perasaan apa, ia tak tahu. Karena waktu itu dirinya begitu mungil untuk mengerti arti cinta dan perasaan. \
Hingga suatu saat, ketika Eva akan mengembalikan sapu tangan ke rumah Dimas, ternyata Dimas dan keluarganya telah meninggalkan kota ini dan pindah entah kemana tanpa ada kabar dari Dimas. Sedih, kecewa, resah, benci, semua bercampur aduk jadi satu. Dan Eva berharap Dimas akan menghubunginya secepatnya.

$ $ $

“Jadi kan ke toko bukunya Va?”, Tanya Afi, sahabatnya setelah mata kuliah hari ini usai.
“Ya iya dong, kan aku mau nyari buku buat karya ilmiah aku, siapa tau disana ada Dimas!”, Eva begitu berharap asanya untuk bertemu Dimas terkabul.
“Dimas lagi…Dimas lagi…emang bakal ketemu lagi apa?”, Afi mencibir.
“Iya donk, itu harapan aku yang paling gede diantara harapan-harapan gede aku yang lain Fi!! ”, matanya menerawang ke atas membayangkan seandainya harapannya terkabul untuk bisa bertemu Dimas. Bibirnya lalu tersenyum.
“Jadi penasaran sama muka Dimas yang sekarang, kecilnya aja manis, apalagi sekarang ya?”, Afi terlihat membayangkan.
“Eits….nggak boleh ada yang mikirin Dimas selain aku!”, alis mata Eva berkerut kesal. Lalu mereka berdua saling tertawa.

$ $ $

15 menit akhirnya mereka sampai di toko buku tujuan mereka. Keduanya berpencar, Eva mencari buku untuk sumber karya ilmiahnya, dan Afi selalu saja memburu novel-novel terbaru bulan ini.
Setelah mendapatkan apa yang dibutuhkan, Eva berjalan ke arah Afi. Langkahnya terhenti, matanya menangkap sosok orang yang sangat dikenalnya sedang ada di kasir. “Dimas!”, ucapnya berbisik.
Kakinya melangkah menuju kasir, namun laki-laki yang dianggap Dimas oleh Eva dan memakai jaket coklat tersebut melangkahkan kakinya dengan cepat. Sekuat mungkin Eva menyusulnya.
“Dimas…..!” panggilnya dengan setengah berlari. Matanya terus mengikuti langkah orang yang menurutnya itu adalah Dimas.
Afi yang mendengar teriakan Eva menolehkan kepalanya dan ikut mengejar Eva dari belakang.
Eva terus memanggilnya namun suaranya tenggelam di tengah keramaian orang banyak sehingga tak begitu terdengar. Dan Eva terus berlari mengikuti orang tersebut. Matanya tak pernah lepas dari objek yang sedang diikutinya. Tapi mengapa orang ini berjalan begitu cepat, dan membuat Eva lelah, langkahnya pun terhenti, air mata mulai mengalir di pipinya.
Afi yang sedari tadi ikut berlari mengikuti Eva terlihat sedang mengatur nafasnya yang tak beraturan. Lalu tangannya memeluk Eva.
“Itu Dimas Fi, aku pasti nggak salah kok!”, Eva meyakinkan kepada Afi bahwa yang dilihatnya itu benar-benar Dimas.
“Va, udah yuk kita pulang aja!”, ajak Afi dan merangkul pundak Eva berbalik menuju toko buku yang tadi didatangi mereka, karena disana motor mereka di parkir.

$ $ $

Seperti biasa, dikala hati sedih dan sepi Eva melarikan hatinya dan menghibur diri dengan bergabung di salah satu jejaring sosialnya dengan netbook kesayangannya. Terkadang status-status temannya membuat Eva tertawa dan juga saling bersapa dengan teman-temannya yang sekarang kuliah di kota yang berbeda-beda, itu cukup membuat dirinya terhibur dan melupakan masalahnya.
Matanya memandang ke arah inbox yang tak pernah dibukanya. Tangannya dengan lincah memindahkan kursor ke arah inbox lalu mengkliknya. Siapa tau ada pesan dari sahabat-sahabat lamanya.
Bener saja, ada pesan dari Winda, sahabat SMPnya yang sekarang kuliah di Bandung menanyakan kabarnya. Lalu di bawah pesan Winda ada juga pesan dari seseorang yang tak akan pernah dilupakan Eva, ADITYA DIMAS ANTARA, jelas sekali namanya tertulis.
Matanya tak berkedip sedikitpun, terus menatap ke pesan tersebut lalu mencubit pipinya seolah tak percaya dengan apa yang dilihatnya sekarang. Yah…dirinya tak sedang bermimpi, itu benar-benar pesan dari Dimas, orang yang selama 5 tahun ini sedang dicarinya. Tak ragu-ragu Eva pun mengklik pesan tersebut dan membacanya.

Hallo Eva!
gimana kabar kamu Va? Boleh kirim nomor hp kamu?

Singkat, jelas dan padat namun sangat berarti sekali untuk Eva. Dan yang membuat Eva sedikit menyesal, hampir tiap malam dia membuka jejaring sosialnya itu, tapi kenapa tak pernah terpikir untuk membuka inboxnya. Pedangkan pesan itu sudah dikirim 3 hari yang lalu oleh Dimas.
Dengan lincah tangannya mengetik tombol-tombol huruf di netbooknya untuk membalas pesan tersebut.

Hei Dim aku baik, kamu sendiri? Ini nomor hp aku 08290xxxxx
Aku tunggu ya telponnyaJ

Ada senyum bahagia disana. Memang semua tergantung waktu, pasti ada saatnya kita akan dihadapkan dengan harapan nyata kita yang datang tak diduga. Tak sabar rasanya, kapan Dimas akan membalas pesannya.
Link halaman Dimas diklik olehnya. Ada foto profil Dimas disana beserta infonya. Tak berbeda dengan masa SMP dulu, wajah Dimas masih terlihat manis. Ternyata Dimas sekarang melanjutkan kuliahnya di Makasar fakultas kedokteran. WHAT A WONDERFUL THIS WORLD…!!!

$ $ $

Tiga  hari setelah Eva membaca pesan dari Dimas, pikirannya tak pernah lepas dari Dimas. Malam ini Eva sedang berbaring di tempat tidurnya, ponsel disampingnya terus diamati. Mengapa sampai sekarang Dimas pun belum menghubunginya, padahal nomor handphone-nya pasti sudah diterima oleh Dimas.
Baru saja matanya akan terpejam, ponsel di genggaman tangannya berdering. Nomor baru tertera di layar.
“Halo ini Eva…ini siapa ya?”
“Eva?  Ini aku Dimas!!!
Eva terdiam tak bisa berkata-kata. Orang yang selalu ada di pikirannya dan terus di carinya, sekarang sedang berbicara dengannnya saat ini bahkan detik ini juga.
“Halo? Eva?”, Dimas memanggil Eva karena tak ada suara dari seberang.
“Eh…Dimas..iya bener banget, ini Eva! Kamu apa kabar?”
Mereka berdua pun terlarut dalam pembicaraan yang begitu seru dan pastinya menyenangkan. Setelah 5 tahun, baru inilah pertama kalinya mereka saling berbicara lagi. Dan ini sangat berarti bagi Eva dan sangat-sangat berarti dalam hidupnya.
Ternyata sekarang Dimas pulang dari Makasar dalam rangka liburan semester. Jadi mereka berdua pun memutuskan untuk bertemu besok. Akhirnya moment yang ditunggu pun tiba dengan cepat. Hidup itu indah ya..!!!
“Kita ketemunya di kafe tempatnya Shila, temen SMP kita aja ya, kebetulan aku kemarin ketemu sama dia katanya disuruh mampir. Kamu mau aku jemput atau kita ketemu disana?”
“Kita ketemu di sana aja deh, biar nggak ngerepotin kamu juga Dim!”, belum terlalu siap buat Eva untuk bertemu Dimas lebih cepat, biar saja menjadi kejutan di kafe nanti.
“Ngerepotin? Kamu ini kayak sama siapa aja sih Va! Tapi kalau kamu maunya begitu… ya udah kalo gitu kita ketemuan di kafe ya!”, suara Dimas terdengar dewasa di telinga Eva.
“Oke Dim, sampai besok ya!”, wajah Eva begitu ceria malam ini.

$ $ $

Seperti yang telah ditentukan,  jam 2 siang Eva sudah datang di kafe dan menunggu Dimas. Ia tak ingin telat. Biar saja Dimas yang telat, karena itu tak akan membuat Eva kecewa. Lantunan nada indah dari Lyla ‘Detik Terakhir’ mengalun melengkapi suasana kafe yang bernuansa elegan saat ini.
“Kenapa harus detik terakhir sih? Kan ini pertemuan aku sama Dimas untuk yang pertama kalinya setelah 5 tahun!”, batin Eva dan tersenyum membayangkan bagaimana ia akan bereaksi jikalau Dimas datang nanti. Namun ia tak ambil pusing, toh hanya sebuah lagu.
Hampir 20 menit Eva menunggu, tapi mengapa Dimas tak datang juga sampai sekarang. Padahal 10 menit yang lalu, Dimas mengirimkan sms bahwa dirinya sekarang dalam perjalanan menuju kafe. Ia tak ingin berpikiran buruk tentang Dimas. Siapa tahu di jalan sedang macet.
Eva terlihat bosan namun terus menyemangati dirinya bahwa Dimas pasti akan datang. Sesekali diseruputnya  jus alpukat di mejanya sambil mengamati terus ponsel di genggamannya, semoga Dimas memberinya kabar bila ada yang terjadi.
Waktu terus berjalan, detik demi detik terlewati. Tepat satu jam sudah Eva menunggu di kafe itu namun Dimas tak kunjung datang. Apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa Dimas tak datang bahkan juga tak mengabarinya? Mengapa semua yang disangka akan berakhir bahagia akan begini jadinya? Keadaan ini membuat Eva kecewa dan resah.
Akhirnya Eva beranjak dari tempat duduknya. Membayar bill lalu melangkahkan kaki meninggalkan kafe. Ia tak langsung menelepon supirnya untuk menjemput, Eva lebih memilih untuk berjalan kaki dengan tujuan ingin menyendiri sebentar. Terlalu mengecewakan untuk Eva yang begitu berharap.
Saat ini dia hanya ingin sendiri.  Kakinya terus menyusuri trotoar sepanjang jalan. Ada air mata disana, entah air mata kekecewaan atau air mata kerinduan yang begitu mendalam. Namun dalam hatinya selalu berdoa, semoga Dimas dalam keadaan sehat selalu seperti yang diharapkan selama ini. Eva tak habis pikir mengapa semuanya jadi mengecewakan seperti ini.

$ $ $

Di sebuah rumah disuatu siang menjelang sore ini terlihat begitu ramai namun tak membuat keramaian. Kecelakaan mobil sekitar jam 13.45 siang tadi, mengakibatkan salah satu anggota keluarga ini pergi untuk selama-lamanya. Ada kesedihan yang tersirat dari setiap wajah orang yang berdatangan disana untuk berduka cita. Langit pun mendung seolah ikut berduka cita akan kehilangannya seseorang yang begitu mereka cintai dan sayangi.
Sebuah karangan bunga di halaman rumah bertuliskan ‘Turut berduka cita atas meninggalnya ‘ADITYA DIMAS ANTARA’. Semoga amal ibadahnya diterima di sisi Yang Maha Kuasa. Amin’.

  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar